Friday, September 27, 2013

Perjalanan Menuju Kota Pertama

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya, bahkan beberapa jam lebih pagi dari hari lainnya. Begitu juga dengan mba Intan. Bukan bagaimana juga sebenarnya, hal ini dikarenakan otto kayu yang akan mengantarkan kami ke kota berangkat sekitar jam 4 pagi atau setengah 5 pagi. Karena itulah sebelum jam itu aku sudah harus bersiap agar tidak ketinggalan sehati, otto kayu satu-satunya di kampung. Semua barang yang akan dibawa pun sudah kami siapkan sejak malam sebelumnya.
Tidak sabar memang menanti salah satu transportasi khas yang satu ini. Sembari menunggu kami berdua duduk di bibir tembok penyokong yang ada di dekat lapangan di depan sekolah. Hari masih gelap saat itu, laut di depan kami pun nampak begitu tenang seolah mereka masih asyik beristirahat di peraduannya. Hmm, sedikit timbul rasa cemburu sebenarnya. Bagaimana tidak, ketika alam masih beristirahat dengan tenangnya, kami berdua sudah sibuk menanti otto kayu di tepi jalan demi dapat pergi ke kota. Tak berapa lama akhirnya terdengar bunyi klakson otto dari kejauhan. Itu artinya penantian kami berdua tak akan berlangsung lebih lama lagi karena cepat atau lambat otto yang kami tunggu pasti akan segera datang.
Benar saja, tak lebih dari 15 menit otto yang kami tunggu tiba. Seperti yang sudah kami perkirakan sebelumnya otto sudah penuh dengan penumpang. Kebanyakan dari mereka adalah penduduk dari kampung sebelah yang hendak pergi ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka. Sebagian lainnya ada juga yang hendak pergi berbelanja di kota. Kulihat senyum terpasung di wajah-wajah khas orang timur. Mereka juga menawarkan tempat duduk untuk kami berdua. Namun, karena kami masih baru dan kami sudah dipesankan tempat duduk sebelumnya oleh teman guru kami yang juga istri dari om Enso, sopir dari otto sehati ini, alhasil kami duduk di bangku penumpang depan. Yap, perjalanan pertama kami ke kota pun dimulai.
Pemandangan laut yang terbentang luas di kanan jalan tampak begitu luas dan tenang. Terlihat beberapa burung terbang rendah di atas air menunggu ikan untuk dijadikan sarapan pagi yang lezat. Bukankah ini seperti halnya aku berada di dunia dongeng? Bagaimana tidak? Karena apa yang telah aku saksikan saat ini belum pernah aku saksikan secara langsung selama aku hidup di kampung halamanku. Belum juga hilang rasa kagumku akan sajian alam pada pagi ini, Tuhan menghadirkan sajian alam lainnya. Matahari terbit. Bagi penduduk asli di sini mungkin ini adalah pemandangan yang biasa mereka nikmati setiap hari. Namun bagiku, ini adalah salah satu pengalaman luar biasa yang baru aku nikmati pertama kali sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah Flores. Warna Jingga yang begitu hangat menghiasi langit seakan menunjukkan bahwa Matahari adalah bintang utama dalam sebuah panggung pertunjukkan. Ia terbit dengan anggunnya seolah ia hadir dan muncul dari lautan luas yang membentang. Inilah matahari timur yang membuatku semakin menyukai daerah penempatanku, Ngada, Flores, NTT. Sayangnya, aku tak sempat mengabadikannya dalam foto. Setidaknya, ini masih dan akan selalu terekam dalam ingatanku.
Perjalanan menuju kota masih terus berlanjut terlepas dari kekagumanku akan sajian alam yang begitu mempesona. Tebing serta jurang yang cukup curam pun menghiasi perjalanan panjang kami. Selain itu, kondisi jalan yang harus kami lewati hampir separuhnya masih merupakan jalan bebatuan yang cukup untuk membuat otto dan seluruh isinya bergoncang. Semakin bergoncang semakin keras pula volume musik suara yang sedang diputar. Awalnya aku mengira hal tersebut hanya dikarenakan orang di sana memang menyukai pesta, musik, dll. Namun ternyata ada alasan lain mengapa setiap otto akan memutar musik dengan volume yang keras. Alasan yang mungkin tak akan pernah terpikirkan orang baru seperti aku. Yaitu untuk mengurangi rasa mual akibat mabuk kendaraan. Entah darimana hubungannya, yang jelas faktnya memang demikian. Meski jalan yang kami lewati berbatu, naik turun, dan berkelok, tak ada satu pun dari penumpang yang ada di dalam otto mengalami mabuk kendaraan.
salah satu pemandangan yang sempat kami ambil
Sekarang jalan sudah memasuki jalan beraspal, dentuman musik khas Flores masih menemani kami. Pemandangan di kanan kiri jalan pun berganti menjadi hutan, bukit, kebun, sawah, serta pemukiman warga. tak terasa rasa kantuk mulai hinggap di kedua mata kami. Semilir angin yang masuk melalui jendela yang terbuka pun semakin menambah berat kelopak mata ini, memaksaku untuk menutup mata dan akhirnya kami pun tertidur. Entah berapa lama kami tertidur, yang jelas ketika kami membuka mata kami sudah hampir sampai di kota. Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh om Enso. Ia juga menanyakan pada kami mengenai tempat yang menjadi tujuan kami di kota. Kami berdua tak tahu persis tempatnya, kami hanya tahu nama tempatnya saja. Setelah itu om Enso pun mengantar kami menuju ke tempat itu meski itu tidak berada di jalur operasi ottonya. Ini merupakan salah satu keunikan dari alat tranportasi yang ada di sini, mereka akan mengantarkanmu tepat sampai di depan rumah atau tempat yang kamu tuju.
jalan menuju Langa
Langa, itulah daerah yang kami tuju saat itu. Daerah penempatan salah satu teman kami yang bernama mas Rahmat Nugroho. Sehati, otto yang kami naiki, mengantarkan kami hingga tepat di depan rumah dan istimewanya semua penumpang yang ada di otto melambaikan tangan kepada kami beberapa saat setelah kami turun dan otto sudah siap melanjutkan perjalanannya menuju ke pusat kota. Seakan para penumpang tersebut baru saja mengantarkan anggota keluarganya. Terima kasih Tuhan, Engkau berikan kami keluarga baru yang begitu peduli dan menyayangi kami.

No comments:

Post a Comment