Thursday, September 19, 2013

Perjuangan untuk Sebuah Pengabdian

Oto Sehati
Hari kedua di Flores, masih dengan suasana Bajawa yang berselimutkan dingin yang menusuk sampai ke tulang. Hari yang ditunggu pula karena hari ini artinya hari dimana para peserta SM-3T angkatan 3 akan diterjunkan ke daerah penempatan masing-masing sesuai dengan pembagian yang telah ditentukan. Begitu pula denganku dan mbak Intan. Kami berdua pun telah bersiap untuk berangkat menuju ke daerah yang akan menjadi tempat tinggal kami selama 1 tahun, desa Wogowela. Bersama dengan Pak Thomas Laba Mottong, Kepala Sekolah SDK Ngedusuba, kami berdua pun berangkat menuju ke daerah penempatan dengan menggunakan Oto Kayu Sehati. Satu-satunya alat tranportasi yang sampai ke daerah penempatan kami.
Matahari memang sudah cukup tinggi dan hari sudah sepantasnya disebut siang, tapi Bajawa masih saja terasa dingin. Meskipun demikian, tak menyurutkan semangat warga yang ada di kota ini untuk beraktifitas seakan dingin tak terasa sama sekali. Hal tersebut terlihat dari ramainya pasar Bajawa yang dipenuhi oleh warga hingga membuat jalanan sedikit macet. Ini merupakan salah satu keuntungan ketika kita harus berangkat ke penempatan dengan menggunakan alat transportasi umum. Jadi, kita bakal diajak keliling kota dulu sebelum pulang ke kampung. 
jalan tanjakan dan tikungan tajam
Om Enso, nama supir dari Oto Sehati yang kami tumpangi ternyata merupakan suami dari salah satu guru yang mengajar di SDK Ngedusuba. Meski berbadan kurus tak berarti ia tak dapat mengangkat dan menaikkan barang-barang penumpangnya. Sesekali Om Enso akan turun membantu konjak atau di Jawa biasa disebut kernet, untuk menaikkan barang-barang bawaan penumpangnya yang tidak sedikit. Sepanjang jalan ia dengan ramah mengajak kami berbicara. Jalan beraspal yang kami lewati seperti tak berujung. Jalanan berliku pun menjadi ciri khas dari jalan-jalan yang ada di daerah ini atau mungkin hampir di sebagian besar jalanan yang ada di Flores merupakan jalan yang berliku. Dan di balik setiap tikungan akan ada sebuah pemandangan yang berbeda. Dari situ aku mulai jatuh cinta dengan Flores, tepatnya di Kabupaten Ngada.
Setelah beberapa jam perjalanan, Oto Kayu yang membawaku pun melewati jalanan yang masih belum tersentuh aspal. Batu-batu menjadi pemandangan di setiap sudut jalan. Mungkin di sinilah pertama kali kutemui jalanan tak beraspal dengan batu berbagai ukuran sebagai dasarnya. Sesekali akan kalian temui batu berukuran besar timbul di tengah jalan. Bukan sengaja dibuat demikian, batu-batu itu memang sudah ada di sana mungkin dari sebe
lum jalanan ini di buat. Konon berdasarkan cerita dari masyarakat di sana, jalanan tersebut baru di buka sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Sebelumnya akses menuju kota kecamatan atau kota kabupaten adalah melalui jalur laut. Bisa dibayangkan betapa usaha masyarakat di daerah tersebut demi pergi ke kota kecamatan atau kabupaten.
Suara dentuman musik yang keluar dari speaker oto semakin keras memekakan telinga. Oto yang melewati jalanan berbatu pun seakan bergoyang mengikuti irama musik. Begitu pula dengan para penumpang, mereka seakan merasa sedang tidak ada di atas jalanan berbatu. Raut wajah mereka tidak menunjukkan rasa khawatir akan jalanan yang bagiku adalah jalanan yang cukup membuat pinggangmu pegal dan tentu berbahaya. Bagaimana tidak, di sisi kiri jalan akan dapat kamu rasakan bagaimana rasanya berada di atas pohon kelapa. Jurang yang begitu dalam berada tepat di sisi jalan. Jika sopir yang membawa oto lengah sedikit akan berbeda cerita yang ku alami. Tapi, sudah dipastikan ini bukanlah pertama kalinya Om Enso membawa oto kayunya melewati jalanan curam ini. Naik, turun, berliku, berbatu, jurang, tebing tinggi, menjadi pemandangan yang akan ditemui sepanjang jalan menuju ke daerah penempatanku. Hingga tibalah di sebuah tanjung dengan belokan tajam dan menurun dengan pemandangan indah pesisir pantai dimana Om Enso memberitahukan kepada kami bahwa di sinilah batas sinyal terakhir. Setelah melewati tikungan ini, sinyal akan hilang. Yups, seperti sebuah pukulan telak dalam sebuah pertandingan tinju, informasi ini sungguh seperti sebuah hal yang mengejutkan kami. Inilah yang mungkin disebut sebuah perjuangan. Sebuah pengorbanan demi kehidupan yang lebih baik antara aku dan orang-orang yang ada di daerah pengabdianku.
Pelita sumber penerangan
Perjalanan berjam-jam dari siang hingga malam, informasi akan ketidakadaan sinyal sedikit terobati ketika akhirnya sampai di sekolah dimana aku akan mengabdikan diri, SDK Ngedusuba. Langit masih memerah di ufuk barat, jam menunjukkan sekitar pukul 6, namun keadaan masih gelap tak ada penerangan. Sambutan hangat dari keluarga SDK ngedusuba, sempat mengalihkan pikiranku. Banyaknya orang yang menyambut kedatangan kami membuatku merasa diterima dan telah menjadi bagian dari keluarga mereka. Pak Thomas mengajak kami singgah di rumahnya. Dari sanalah kami tahu bahwa desa ini belumlah tersentuh oleh listrik. Sebab sumber penerangan yang  ada di rumah Pak Thomas berasal dari lampu surya yang tergantung di tengah ruangan. terlihat pula di beberapa rumah menggunakan pelita sebagai sumber penerangan.
Perjuangan ini baru akan dimulai, meski tak tahu harus dimulai dari mana tapi inilah jalan yang telah kupilih. Berjuang hingga akhir atau semuanya akan sia-sia.

No comments:

Post a Comment